Senin, 03 Juni 2013

Jathilan

Pernah menonton jathilan? Tarian yang sering disebut dengan kuda lumping atau kuda kepang ini cukup populer di Pulau Jawa. Yang menarik dari pertunjukan ini adalah sang penari bisa sampai kesurupan atau kerasukan makhluk halus kemudian makan beling (pecahan kaca). Istilah jathilan berasal dari bahasa jawa “jan” yang artinya “benar-benar” dan “thil-thilan” yang artinya “banyak gerak”.
Kesenian yang menggunakan properti berupa kuda-kudaan dari anyaman bambu ini memiliki beberapa versi sejarah. Ada yang menyebutkan bahwa kesenian ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap perjuangan pasukan berkuda pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Ada juga yang beranggapan bahwa jathilan menggambarkan kisah Raden Patah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam melawan Belanda. Versi yang lain lagi mengatakan jathilan mengisahkan latihan pasukan prajurit kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I untuk melawan Belanda. Persamaan dari semua versi tersebut adalah jathilan menceritakan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah Belanda.
Pertunjukan ini dimulai dengan tarian yang gerakannya pelan-pelan, kemudian semakin lama semakin cepat mengikuti irama musik yang dimainkan dengan berbagai alat musik tradisional seperti drum, kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Dahulu, tari jathilan dilakukan untuk memanggil roh kuda untuk meminta keamanan desa dan keberhasilan panen. Kuda melambangkan kekuatan, kepatuhan, dan sikap pelayanan dari kelas pekerja.
Pada awalnya, pertunjukan ini terdiri dari dua peran, yaitu penari kuda dan pria dengan cemeti. Penari kuda dianalogikan sebagai rakyat kelas bawah atau pekerja dan pria dengan cemeti sebagai masyarakat kelas atas yang memiliki otoritas. Kelas pekerja yang diwakili dengan penari kuda digambarkan tanpa aturan, terus menari-nari, semakin lama semakin liar hingga akhirnya kerasukan. Masyarakat kelas atas yang jumlahnya lebih sedikit digambarkan dengan pria pemegang cemeti yang tidak urakan dan memiliki otoritas. Mereka akan memecut cemetinya jika penari kuda menari terlalu liar. Saat penari kuda kerasukan pada klimaks pertunjukan, pria pemegang cemeti jugalah yang akan berperan “menyembuhkan” mereka.
Ada beberapa orang yang beranggapan bahwa pertunjukan ini dilarang agama karena dianggap memuja roh makhluk gaib. Namun ironisnya, lagu-lagu yang dinyanyikan dalam pertunjukan ini biasanya justru menghimbau manusia untuk berbuat kebaikan dan selalu ingat kepada Sang Pencipta. Kini, pertunjukan ini masih sering ditampilkan pada acara-acara resmi tapi sudah banyak mengalami modifikasi dalam kostum, jumlah penari, dan detail gerakannya. Bagaimanapun juga, jathilan merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia yang perlu dilestarikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar